Untuk mengenang peristiwa tsunami yang terjadi tahun 2005 di Nanggroe Aceh Darussalam, maka dibangunlah Museum Tsunami di lokasi kejadian. Museum bersejarah itu telah diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada akhir Februari 2009. Seperti dituturkan perancangnya, M Ridwan Kamil,  museum ini harus menjadi simbol struktur yang anti tsunami, yakni berupa kombinasi antara bangunan panggung yang diangkat (elevated building) di atas sebuah bukit.

Lebih jauh ia mengungkapkan, pilihan terhadap bangunan panggung  terinspirasi dari rumah panggung tradisional Aceh yang terbukti tahan terhadap bencana alam. Sedangkan konsep bukit diambil dari konsep bukit penyelamatan (escape hill)  sebagai antisipasi jika terjadi tsunami di masa yang akan datang.

Dalam mendesain museum, ia mencoba merespon beberapa aspek penting dalam perancangan seperti: memori terhadap peristiwa bencana tsunami, fungsionalitas sebuah bangunan museum/memorial, identitas kultural masyarakat Aceh, estetika baru yang bersifat modern dan responsif terhadap konteks urban.

Bangunan megah Museum Tsunami tampak dari luar seperti kapal besar yang sedang berlabuh. Sementara di bagian bawah terdapat kolam ikan. Museum ini merupakan satu-satunya di Indonesia dan tidak mustahil akan menjadi museum tsunami dunia.

Konsep Perancangan
Beberapa konsep dasar yang mempengaruhi perancangan Museum Tsunami antara lain: rumah adat Aceh, bukit penyelamatan (escape hill); gelombang laut (sea waves), tarian khas Aceh (saman dance), cahaya Tuhan (the light of God) dan taman untuk masyarakat (public park).

Seperti disampaikan Ridwan Kamil, desain Tsunami Memorial ini mengambil ide dasar dari rumah panggung Aceh karena dapat sebagai contoh kearifan arsitektur masa lalu dalam merespon tantangan dan bencana alam. Begitu pula dengan bentuk bukit penyelelamatan pada bangunan merupakan antisipasi terhadap bahaya tsunami di masa datang.

Sedangkan mengenai bentuk denah bangunan yang menyerupai gelombang laut, itu merupakan analogi dan sekaligus sebagai pengingat akan bahaya tsunami. Sementara konsep tarian khas Aceh yang ada pada bangunan, menurut Emil sebagai lambang dari kekompakan dan kerjasama  antar manusia yang kemudian diterjemahkan menjadi kulit  bangunan eksterior.

Di dalam bangunan juga terdapat ruang berbentuk sumur silinder yang menyorotkan cahaya ke atas sebagai simbol hubungan manusia dengan Tuhannya. Tidak ketinggalan ia juga membangun sebuah taman terbuka bagi masyarakat yang bisa diakses dan dipergunakan setiap saat sebagai respon terhadap konteks urban.


Efek Psikologis Ruang
Untuk membangkitkan kenangan lama akan tragedi tsunami. Tata letak ruangan di dalam  museum dirancang secara khusus. Emil menjelaskan, urut-urutan (sequence) ruang di bangunan  yang harus dilalui pengunjung dirancang secara seksama. Hal ini untuk menghasilkan efek psikologis yang lengkap tentang persepsi manusia akan bencana tsunami. Untuk mewujudkannya ruang dirancang dalam tiga zona yakni:  spaces of memory; spaces of hope dan spaces of relief.

Pada zona spaces of memory direalisasikan dalam tsunami passage dan Memorial Hall. Area penerima tamu (tsunami passage) di museum ini berupa koridor sempit berdinding  tinggi dengan air terjun yang bergemuruh untuk mengingatkan betapa menakutkannya suasana di saat terjadinya tsunami. Sedangkan Memorial Hall merupakan area di bawah tanah yang menjadi sarana interaktif untuk mengenang sejarah terjadinya tsunami. Pada Aceh Memorial Hall ini juga dilengkapi dengan pencahayaan dari lubang-lubang sebuah reflecting pool yang berada di atasnya.

Sedangkan pada zona spaces of hope diwujudkan dalam bentuk Blessing Chamber dan Atrium of Hope.  Blessing Chamber merupakan ruang transisi sebelum memasuki  ruang-ruang kegiatan non memorial. Ruang ini berupa sumur yang tinggi dengan ribuan nama-nama korban terpatri di dinding. Sumur ini diterangi oleh skylight berbentuk lingkaran dengan kaligrafi Allah SWT  sebagai makna hadirnya harapan bagi masyarakat Aceh.

Sementara atrium of hope berupa ruang  atrium yang besar sebagai simbol dari harapan dan optimisme menuju masa depan yang lebih baik. Pengunjung akan menggunakan ramp melintasi kolam dan atrium untuk merasakan suasana hati yang lega. Atrium dengan refelecting pool ini bisa diaskes secara visual kapan saja namun tidak bisa dilewati secara fisik.

Untuk zona spaces of relief diterjemahkan dalam the hill  of light dan escape roof. The hill  of light merupakan taman berupa bukit kecil sebagai sarana penyelamatan  awal terhadap tsunami. Taman publik ini dilengkapi dengan  ratusan tiang obor yang juga dirancang untuk meletakkan  bunga dukacita sebagai tanda personal space. Jika seluruh obor  dinyalakan maka bukit ini akan dibanjiri  oleh lautan cahaya. Sangat personal sekaligus komunal. Sedang escape roof merupakan atap bangunan yang dirancang berupa rooftop yang bisa ditanami rumput atau lansekap. Atap ini juga dirancang sebagai area evakuasi bilamana di kemudian hari terjadi bencana banjir dan tsunami.

Nama: Museum Tsunami Nanggroe Aceh Darussalam
Lokasi: Aceh (NAD)
Arsitek: PT Urbane Indonesia
Principal Architect: M Ridwan Kamil
Selesai: 2008
Foto/Image: PT Urbane Indonesia

sumber : http://www.buildingindonesia.biz/