Mengenal sejenak Rumah Adat
Karo Suku Karo mendiami daerah bagian utara Propinsi Sumatera Utara, terutama di daerah tinggi Karo, Langkat Hulu, Deli Hulu, Serdang Hulu, dan sebagian Dairi. Sebagian besar orang Karo masih hidup di desa-desa yang disebut kuta. Kuta merupakan kesatuan territorial yang dihuni oleh penduduk dari beberapa merga (klen) yang berbeda. Dalam kuta terdapat dua atau lebih deretan rumah adat. Namun, sekarang tidak semua kuta memiliki rumah adat. Di beberapa tempat kita masih dapat menemukan rumah adat Karo yang sudah berusia ratusan tahun diantaranya di desa Lingga, Dokan dan Peceren. Rumah Adat Karo terkenal karena keunikan teknik bangunan dan nilai sosial-budayanya. Rumah adat Karo memiliki konstruksi yang tidak memerlukan penyambungan. Semua komponen bangunan seperti tiang, balik, kolom, pemikul lantai, konsol, dan lain-lain tetap utuh seperti aslinya tanpa dilakukan penyerutan ataupun pengolahan. Pertemuan antarkomponen dilakukan dengan tembusan kemudian dipantek dengan pasak atau diikat menyilang dengan ijuk untuk menjauhkan rayapan ular. Bagian bawah, yaitu kaki rumah, bertopang pada satu landasan batu kali yang ditanam dengan kedalaman setengah meter, dialasi beberapa lembar sirih dan benda sejenis besi. Rumah adat Karo berbentuk panggung dengan dinding miring dan beratap ijuk. Letaknya memanjang 10-20 meter dari timur ke barat dengan pintu di kedua jurusan mata angin itu. Posisi bangunan Rumah Adat Karo biasanya mengikuti aliran sungai yang ada di sekitar desa. Pada serambi muka terdapat semacam teras dari bambu yang disusun yang disebut ture.
Nilai
Kepercayaan dalam Pembangunan Rumah Adat Karo
Sebelum
membangun rumah, orang Karo mengadakan musyawarah dengan teman satu rumah
mengenai besar, tempat, dan hal-hal lain. Waktu membersihkan dan meratakan
tanah ditentukan oleh guru (dukun) untuk mendapatkan hari yang baik. Ketika
akan mengambil kayu ke hutan mereka kembali menanyakan hari yang baik untuk
menebang pohon kepada guru. Sebelum menebang kayu guru akan memberi persembahan
kepada penjaga hutan agar jangan murka terhadap mereka karena kayu itu dipakai
untuk membangun rumah. Dalam proses pembangunan mulai dari peletakan alas rumah
selalu ada ritual yang dibuat agar pembangunan rumah tersebut diberkati oleh yang
maha kuasa dan agar tidak tejadi hal-hal yang buruk. Setelah rumah selesai
dibangun masih ada ritual yang diadakan. Guru dan beberapa sanak keluarga yang
membangun rumah akan tidur di rumah baru itu sebelum rumah itu ditempati.
Mereka akan memimpikan apakah rumah tersebut baik untuk dihuni atau tidak.
Waktu memasuki rumah baru biasanya diadakan kerja mengket rumah mbaru (pesta
memasuki rumah baru). Pesta ini menunjukkan rasa syukur atas rumah baru
tersebut kepada saudara-saudara dan kepada yang maha kuasa. Dalam pesta ini ada
acara makan bersama dengan para kerabat, kenalan, dan orang-orang sekampung.
Lalu, acara dilanjutkan dengan acara ngerana (memberi kata sambutan dan
petuah-petuah) oleh pihak-pihak yang berkompeten seperti: Kalimbubu, Anak beru,
dan Senina. Dalam pesta ini juga biasanya ada acara tepung tawar untuk rumah
baru. Guru akan menepungtawari bagian-bagian tertentu dari rumah.
Tujuannya ialah agar segala yang jahat keluar dari rumah dan yang baik tinggal
dalam rumah untuk membuat para penghuni rumah bisa bahagia menempati rumah
tersebut. Acara lain yang kadang dibuat adalah gendang. Gendang ini bertujuan
untuk mengusir hal-hal jahat yang masih tinggal di dalam rumah tersebut.
gendang tersebut juga menunjukkan rasa gembira dan syukur bersama warga sedesa.
Nilai
Kepercayaan dalam Bentuk Bangunan Rumah Adat Karo
Struktur
bangunan rumah adat Karo terbagi atas tiga bagian, yaitu atap sebagai dunia
atas, badan rumah sebagai dunia tengah, dan kaki sebagai dunia bawah, yang
dalam bahasa Karo disebut Dibata Atas, Dibata Tengah, dan Dibata Teruh (Allah
Atas, Allah Tengah, dan Allah Bawah). Pembagian anatomi rumah adat Karo
menggambarkan: dunia atas tempat yang disucikan, dunia tengah tempat
keduniawian, dan dunia bawah tempat kejahatan sehingga layak untuk tempat
binatang piaraan, yang dalam kepercayaan suku Karo dikuasai oleh Tuhan Banua
Koling. Penguasa yang jahat dipuja dan dihormati agar tidak mengganggu
kehidupan manusia. Dalam pembangunan rumah adat, hal yang terpenting adalah
prosesnya yang sakral dibandingkan segi fisiknya. Hal ini tampak mulai dari
penentuan tapak/lahan, pemilihan kayu di hutan, hari baik untuk pendirian
rumah, pemasangan atap sampai memasuki rumah. Kesemuanya dilakukan melalui
upacara-upacara ritual dengan kerbau sebagai korban. Upacara-upacara ini
menunjukkan kepercayaan yang besar orang Karo akan kekuasaan yang melebihi
kekuatan manusia.
Nilai
Kebersamaan dari Rumah Adat Karo
Suatu
rumah adat biasanya dihuni oleh empat atau delapan bahkan sampai enam belas
keluarga batih (jabu), yang masih terikat hubungan kekerabatan secara
patrilineal. Penempatan jabu di dalam rumah diatur menurut ketentuan adat.
Inilah yang menjadi kekhasan rumah adat Karo bila dibandingkan dengan rumah
adat lain. Jumlah anggota keluarga ini berkaitan dengan tungku masak di dalam
rumah. Tiap tungku digunakan oleh dua keluaga sehingga dua keluarga biasanya
memakan makanan yang sama. Ini juga menjadi keunikan yang menunjukkan
kebersamaan dalam Rumah Adat Karo. Kegembiran atau kesusahan satu anggota keluarga
menjadi kegembiran seluruh penghuni rumah adat. Dan lewat perayaan-perayaan
hidup seperti membangun rumah, pesta tahunan, kerja di ladang, pernikahan,
kelahiran anak, dan kematian tampaklah kebersamaan itu semakin hidup.
Keterangan
:
SUKU Karo masih bisa berbangga karena rumah tradisional siwaluh jabu yang dihuni 8 atau 12 kepala keluarga, masih dipertahankan di lima desa di kabupaten Karo. Tiga atau lima tahun lagi kebanggaan itu mungkin tak ada lagi, karena rumah buatan nenek moyang yang tinggal sekitar 30 unit lagi, bisa mengalami nasib seperti rumah tradisional suku Batak lain di Sumatera Utara yang hilang tak berbekas.
Kebanggaan akan rumah tradisional itu karena dua hal: keunikan teknik bangunan dan nilai sosial-budayanya. Keunikan teknik bangunannya: rumah berukuran minimal 10 x 30m (300 m2) itu dibangun tanpa paku dan ternyata mampu bertahan hingga 250 tahun lebih. Sedang keunikan nilai sosial-budayanya: kehidupan berkelompok dalam rumah besar yang dihuni 8 kepala keluarga (KK) atau sekitar 50 jiwa. Khusus di Desa Serdang Kecamatan Barusjahe malah ada rumah adat Karo yang dihuni 12 KK. Batas antara satu keluarga dengan yang lain ditandai tirai kain panjang.
Rumah kayu ini tak dilengkapi kamar tidur dan ruang tamu. Semua anggota keluarga tidur di jabu atau ruangan tanpa penyekat. Khusus untuk bapa (bapak) dan nande (ibu) diberi penyekat berupa kain panjang yang setiap pagi dilepas. Ruangan tadi berfungsi ganda: tempat memasak, tempat makan dan berkumpul, sekaligus tempat tidur keluarga. Karena tidak ada pemisah ruangan, maka pada setiap jam masak, semua ruangan dipenuhi asap kayu bakar yang dipakai sebagai bahan bakarnya. Kecilnya ukuran pintun perik alias jendela juga tak membantu pertukaran udara di dalam rumah sehingga kepengapannya sangat menyesakkan dada.
Rumah adat ini umumnya dilengkapi empat dapur. Masing-masing dapur memiliki dua tungku untuk dua keluarga yang biasanya mempunyai hubungan kekerabatan sangat erat. Setiap tungku dapur menggunakan lima batu sebagai pertanda bahwa di suku Karo terdapat lima merga yakni Ginting, Sembiring, Tarigan, Karo-karo dan Perangin-angin. Di atas tungku terdapat para, tempat menyimpan bumbu dan ikan atau daging selain untuk rak piring dan tempat menyimpan segala sesuatu untuk kebutuhan keluarga sehari-hari.
Di bagian depan dan belakang rumah terdapat ture seperti teras dilengkapi redan atau tangga. Kedua ujung atap masing-masing dilengkapi dua tanduk kerbau. Tanduk itu diyakini sebagai penolak bala. Ture biasanya menjadi tempat muda-mudi mengawali percintaannya. Gadis Karo dahulu kala menganyam tikar atau mbayu amak di atas tempat ini, sebelum menemukan jodoh.
Rumah berbentuk panggung dan beratap ijuk ini memiliki dua pintun (pintu) dan delapan jendela (lihat gambar). Ruangan setiap keluarga disebut jabu. Sedangkan kolong rumah dimanfaatkan sebagai kandang ayam, babi serta tempat menyimpan kayu bakar.
MENURUT cerita orang-orang tua, ratusan tahun lalu Desa Lingga, Kecamatan Simpangempat, merupakan cikal bakal serta pusat pemerintahan suku Karo. Saat itu Lingga dipimpin seorang raja yang disebut Sibayak Lingga. Ia membangun rumah pertemuan dan rumah tempat tinggal warganya, yang tiang penyangga, dinding, dan beberapa bagian atas, terbuat dari kayu bulat.
Dulu, di seluruh desa di Tanah Karo terdapat rumah adat berukuran paling kecil 10 x 30 meter, dilengkapi atau gedung pertemuan tokoh masyarakat. Kompleks ini juga dilengkapi bangunan bernama geriten yang terbagi dua: satu untuk tempat kencan muda-mudi dan sebuah lagi untuk menyimpan tengkorak pemilik geriten.
Ketika Belanda menjajah negeri ini, warga Karo sengaja membumihaguskan rumah dan hartanya, agar rumah mereka tidak dimanfaatkan Belanda.
Maka, kini tingal Desa Lingga, Peceren, Serdang, Barusjahe dan Dokan yang mempunyai rumah adat pertanda kebesaran nenek moyang suku Karo.
KEUNIKAN arsitektur siwaluh jabu menarik wisatawan, sebab jarang rumah dibangun
tanpa paku bisa berusia ratusan tahun. Besarnya minat wisatawan mancanegara
melihat keunikan rumah siwaluh jabu membuat Pemda Karo menetapkan beberapa desa
di Tanah Karo menjadi desa budaya. Desa budaya itu: Lingga, Dokan, Serdang,
Barusjahe dan Peceren yang tahun 1992 lalu masih memiliki sekitar 50 rumah.
Tahun itu juga pihak Deparpostel merenovasi dua rumah siwaluh jabu di Lingga
dengan biaya tak kurang Rp 50 juta. Sayangnya uluran tangan pemerintah itu
tidak berkesinambungan. Maka semakin hari, rumah siwaluh jabu di desa budaya
tersebut terus berkurang dan kini tinggal sekitar 30 unit. Pemilik maupun warga
desa setempat tak mampu merawat rumah peninggalan nenek moyangnya itu.
Pemilik rumah siwaluh jabu juga cenderung membangun rumah sendiri di tempat lain. Tidak zamannya lagi hidup bersama dengan delapan keluarga dalam satu rumah. Kini rumah tradisional masyarakat Karo terlantar dan menanti ajal. Beberapa rumah adat itu telah dipenuhi semak belukar.
Tanggung jawab memang tak sepenuhnya di tangan pemerintah. Warga sebagai pemilik rumah tua itu juga harus bersedia mempertahankan keberadaan rumah itu. Memang sekarang banyak suku Karo baik di Tanah Karo maupun di kota lain seperti Jakarta membangun rumah
berornamen
rumah siwaluh jabu yang umumnya hanya mengambil bagian atasnya saja. Sekadar
ingin tahu bentuknya saja, di Taman Mini Indonesia Indah Jakarta berdiri sebuah
rumah siwaluh jabu.
Gambar rumah adat pada bagian atas bukanlah Rumah Adat Suku Karo!
BalasHapusMohon di koreksi.
terima kasih.
Mejuah-juah.
Terima kasih penjelasannya yang bermanfaat... Jgn lupa mampir ke blog kami homei
BalasHapus