Rabu, 01 Juni 2011

Habis Tumpang Terbitlah Kubah


 
Penggunaan kubah pada masjid meminggirkan arsitektur tradisional di Indonesia. Bagaimana mantan presiden Indonesia, Sukarno dan Soeharto, melihatnya?
KITA cenderung beranggapan bahwa masjid beratap kubah adalah yang paling Islami. Padahal kubah tidaklah identik dengan Islam. Kubah juga belum dikenal pada masa Nabi Muhammad.

Arsitek terkemuka Profesor K.A.C. Cresswell dalam Early Muslim Architecture, mengatakan bentuk pertama Masjid Madinah (Masjid Nabawi) belum menggunakan kubah. Desain masjid pertama umat Islam itu sangat sederhana, “hanya berbentuk segi empat dengan dinding pembatas di sekelilingnya,” tulis Cresswell.

Kubah sudah lama menjadi bagian dari arsitektur lama; biasanya terbuat dari dahan kayu sebagai penyangga yang lalu dipadatkan dengan lumpur atau batu. Semisal Kubur Mikene Greeks di Yunani (Mycenaean Greeks) yang berasal dari abad ke-14 SM. Namun teknik pembuatannya berbeda di masing-masing wilayah. Honai, rumah adat suku Dani di Papua misalnya, menggunakan daun rumbia sebagai penutupnya.

Penggunaan kubah meluas pada abad pertengahan setelah imperium Romawi mulai menggunakan struktur kubah yang diletakkan di atas bangunan berbentuk segiempat. Ini dibuktikan dengan keberadaan bangunan Panthenon (kuil) di Kota Roma yang dibangun pada 118 M-128 M oleh Raja Hadria.

Arsitektur Islam tertua yang menggunakannya adalah Kubah Batu (Qubbat as-Shakrah), tempat suci di dalam Masjid al-Aqsa di Yerussalem, yang dibangun Abdul Malik bin Marwan, khalifah Ummaiyyah, pada 691 M. Ia menjadi monumen Islam tertua yang masih bertahan hingga kini. “Pembangunan kubah itu dimaksudkan untuk mengungguli atap Gereja Sepulchre Suci yang indah,” tulis Phillip K. Hitti dalam History Of The Arabs.

Menurut Taufik Ikram Jamil dalam “Penggalan Kepala untuk Sultan Melayu”, yang dimuat Kompas, 1 Agustus 2003, masjid pertama di Nusantara yang menggunakan atap kubah adalah Masjid Sultan di Riau, yang dibangun 1803, ketika direnovasi Yang Dipertuan Muda VII, Raja Abdul Rahman (1833-1843).

Di Nusantara, masjid umumnya beratap tumpang. Kubah belum dikenal. Penggunaan kubah di Asia Tenggara dimulai setelah Perang Rusia-Turki pada 1877-1878 –antara Rusia, Romania, Serbia, Montenegro, dan Bulgaria melawan Kekaisaran Ottoman– yang mencuatkan ide revitalisasi Islam dan Pan-Islamisme. Saat itu Kekaisaran Ottoman melancarkan gerakan budaya, termasuk pengenalan jenis masjid baru. Gerakan ini bergema di Asia Tenggara. “Masjid-masjid tradisional beratap tumpang digantikan masjid kubah (qubbah) dengan minaret-minaret gaya Timur Tengah atau India Utara,” tulis Peter J.M. Nas dalam Masa Lalu Dalam Masa Kini: Arsitektur di Indonesia.

Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia, juga merunut dari gerakan reformis atau “pemurnian” Islam atas kebiasaan lama pra-Islam atau sinkretisme yang diambil Islam berabad-abad lampau. Bentuk atap kubah dibawa para kiai/ulama yang naik haji.

“Lambat-laun kubah menjadi simbol arsitektur Islam paling modern, yang seakan-akan wajib ada pada masjid-masjid baru di Asia Tenggara,” tambah Peter J.M. Nas.

Perubahan itu terlihat pada Masjid Baiturrahman di Banda Aceh. Setelah dikuasai dan dibakar sebagian untuk meredam perlawanan rakyat Acheh, Belanda membangun kembali pada 1879 dan rampung dua tahun kemudian dengan tambahan sebuah kubah. Arsiteknya adalah kapten Zeni Angkatan Darat Belanda (Genie Marechausse) de Bruijn. Pembangunan kembali itu, menurut Abdul Baqir Zein dalam Masjid-Masjid Bersejarah di Indonesia, merupakan strategi Belanda untuk mengambil hati rakyat Acheh.

Pengaruh arsitektur modern, dengan campurtangan orang Eropa, juga terdapat pada Masjid Tua Palembang, yang dibangun masa kekuasaan Sultan Mahmud Baddaruddin I (1724-1757). Pada abad ke-19, ketika mengunjungi Palembang, komisaris Belanda J.I. van Sevenhoven melihat Masjid Tua Palembang sudah memiliki kubah, yang mungkin ditambahkan setelah bertahun-tahun masjid itu berdiri. Kubah itu, yang  terbuat dari daun kelapa, berada di atas menara.

Kubah kemudian menghiasi masjid-masjid di Nusantara, sebagaimana ditunjukkan Peter J.M. Nas. Dalam lukisan cat air bertahun 1822 karya J.W. van Zanten dan sebuah karya litografi tanpa warna dari Le Moniteur des Indes-Orientalis et Occidentalis (1846-1849), menara masjid Banten yang menyerupai mercusuar digambarkan mempunyai kubah. Pijper dalam Studien over de geschiedenis van de Islam, menduga masjid pertama di Jawa yang menggunakan kubah ada di Tuban, yang peletakan batu pertamanya dilakukan pada 1894. Masjid Agung Ambon, yang dibangun pada 1837, dihiasi kubah. Di Kudus, sebuah beranda ditambahkan pada Masjid Al-Aqsa pada 1933 dilengkapi kubah yang sangat besar.

Kubah menjadi bagian arsitektur yang identik dengan masjid-masjid di Nusantara, hal yang disesali Pijper karena punahnya “gaya arsitektur Indonesia kuno nasional.”

Sukarno, lulusan Technische Hoogeschool di Bandung, awalnya bukanlah pengagum kubah. Ketika dia berada di pengasingan di Bengkulu pada 1939 hingga 1942, dia merancang Masjid Jamik beratap tumpang susun tiga di Bengkulu. Tapi kemudian dia mulai terpengaruh olehnya. Ketika Indonesia menggelar Konferensi Asia-Afrika pada 1955, Presiden Sukarno menginstruksikan untuk mengganti atap tumpang Masjid Agung Bandung, yang dibangun pada 1810, dengan kubah. Karena Bandung akan menjadi pusat perhatian dunia, tulis Peter J.M. Nas, “Sukarno menganggap sebuah masjid beratap tumpang tidak pantas dalam menggambarkan bangsa Islam modern”.

Sukarno juga mendorong arsitektur yang tak terikat pada masa lalu dan wawasan sempit bangsanya. Ini terlihat pada Masjid Istiqlal, dengan arsitek Frederich Silaban, seorang Nasrani, yang dibangun pada 1961.

Penggantinya, Soeharto, kebalikannya. Ia seorang pengagum nilai-nilai dan tradisi Jawa. Ketika proyek Masjid Istqlal hendak diteruskan, sempat terhenti karena krisis politik dan transisi kekuasaan, tampaknya Soeharto keberatan dengan penggunaan kubah. Tak heran jika Silaban senang ketika Soeharto akhirnya menyetujui semua rancangannya. “Saya meminta pada Presiden Soeharto agar soal kubah tidak ditawar-tawar,” kata Silaban, seperti dikutip Tempo, 27 Agustus 2007. Masjid Istiqlal diresmikan pada 1978.

Soeharto juga meminta agar kubah Masjid Agung Bandung dikembalikan lagi ke atap tumpang pada 1970. Alasannya, mengembalikan jatidiri kebudayaan nasional. Soeharto lalu mendorong pembangunan masjid bergaya tradisional, yang didanai Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila (YAMP). Sejak berdiri hingga 2007, menurut buku Pengabdian 25 Tahun YAMP, yang diterbitkan yayasan tersebut, sudah berdiri 960 masjid. Masjid-masjid itu –yang bentuknya sama, tak peduli dibangun di Jawa atau di Papua, dengan Masjid Agung Demak sebagai prototipe– beratap tumpang tiga susun.

Daftar Blog Saya